Barang produksi home industri china mengalahkan indonesia
Barang produksi home industri negeri China
mampu menembus pasar Indonesia,
ini adalah peluang yang sangat empuk bagi ekonomi mereka, Devisa RRC meningkat
tajam dan berbanding terbalik dengan negara kita. Bagaimana tidak, kalau dulu
di jaman pak Harto kita kebanjiran produk Jepang, semua alat rumah tangga
sampai bolpen pun made in japan. Kini semua peralatan yang murah – murah made
in China.
Handphone china, tv china komputer china dll.
Pemerintah dianggap kebakaran jenggot akibat membanjirnya produk-produk China
di pasar dalam negeri. Langkah pengamanan pasar bagi industri lokal seperti Bea
Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) oleh Kementerian Perdagangan hanya sebatas mau
menunjukan kinerja saja. sudah sejak lama pelaku usaha di dalam negeri
menghendaki revisi perdagangan bebas ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA).
Namun sayangnya pemerintah tak menghiraukan suara pelaku industri lokal. “Kita
bukan menolak ACFTA tapi kita minta direvisi saja,” Langkah pemerintah mengajak
investor China
untuk berinvestasi ke dalam negeri suatu hal yang sangat sulit. Menurutnya, China sebagai negara industri tahu
benar apa yang menjadi kepentingannya.
Lalu bagaimana kita bisa bersaing
di pasar global, apakah kita bisa meniru apa yang telah dilakukan oleh Negara
China dalam meningkatkan pemberdayaan UKM usaha home industri guna meningkatkan
kemakmuran rakyatnya? Bayangkan saja semua kebutuhan kita ada dibuat
oleh mereka, padahal kita pun bisa melakukannya jika ada yang menyuarakan untuk
membuatnya, Ada yang memberikan pengaturan untuk membuat semua jenis produk
dengan home industri dan bisa dipakai sendiri maupun di ekspor, Ya Seperti yang
dilakukan bangsa China tersebut.Sebenarnya banyak yang bisa dibenahi kalau kita mau ada perubahan. Saat ini devisa kita sebagiannya dari pebisnis internet yang mendapatkan jutaan dolar dari luar negeri dan para TKI.
Dampak Mobilisasi Franchise Asing ke Indonesia
Kata franchise
berasal dari bahas Prancis kuno yang berarti “bebas”. Konsep ini
kemudian berkembang di Jerman sejak tahun 1840 dengan penjualan pada sektor
makanan dan minuman saja. Namun pada tahun 1951, perusahaan mesin jahit
Singer di Amerika membuat perjanjian tertulis yang kemudian disebut-sebut
sebagai pelopor perjanjian Franchise modern, tujuannya masih sederhana, yaitu
pemberian hak untuk mendistribusikan produk. Cara ini kemudian banyak
ditiru oleh pelaku bisnis di Amerika, diantaranya adalah Coca cola, General
Motors Industry. Kemudian pada tahun 1919 A&W Root Beer membuka
restoran cepat saji pertamanya, kecenderungan iklim waralaba yang didominasi
oleh waralaba food and beverages mulai berkembang sampai saat ini hingga masuk
ke Indonesia.
Dalam fenomena franchise yang berkembang di Indonesia
belakangan ini, saya mengambil contoh kasus fenomena franchise asing di sektor
food and beverages. Semakin menjalar di kota-kota besar berbagai seperti
Wendy’s, Bread Talk, Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Dunkin Donuts, Pizza
Hut, Starbucks yang mempunyai animo pembeli cukup banyak dari masyarakat
Indonesia yang rela mengalokasikan uang dan waktunya dalam antrian yang panjang
dan kemudian membayar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspansi
Franchisor asing ke Indonesia selain dari penyebab utama yaitu krisis ekonomi
global yang melanda dunia barat antara lain adalah naiknya daya beli masyarakat
Indonesia, tercapainya kepuasan pribadi (prestise) oleh pembelinya, tersedianya
sumber daya yang dibutuhkan, dan lunturnya rasa nasionalisme. Mobilisasi
franchisor asing untuk mengekspansi pasar Indonesia ini mendapat tanggapan dari
berbagai perkumpulan franchise lokal di Indonesia dan pemerintahan, salah
satunya adalah tanggapan dari ketua umum Asosiasi Franchise Indonesia (AFI)
yang menyinggung tentang pengawasan franchise asing untuk lebih diperketat,
karena hal itu cukup mengkhawatirkan bagi iklim perekonomian Indonesia yang
pertumbuhan ekonominya masih positif. Sementara itu Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri Kementrian perdagangan, Gunaryo, menyatakan bahwa dia tidak
menolak adanya perusahaan franchise asing yang masuk ke Indonesia walaupun
persyaratan masuknya franchise asing sudah ada di Indonesia nanum masih terlalu
mudah. Beliau hanya
memfokuskan pada kesetaraan aturan waralaba di Indonesia sama dengan
aturan-aturan yang ada di negara lain.
Dampak Masuknya Waralaba Asing
Berikut adalah dampak-dampak yang terjadi akibat
masuknya franchise asing ke Indonesia
dalam jumlah yang sangat besar seperti belakangan ini :
- Tingkat konsumerisme masyarakat Indonesia semakin tinggi.
Beberapa waktu yang lalu lembaga riset Nielsen
yang berbasis di Amerika Serikat dan Belanda mengeluarkan hasil riset yang
menyebutkan bahwa golongan masyarakat kelas menengah di Indonesia merupakan golongan yang
pertumbuhan pengeluarannya melebihi kelas atas dan bawah per bulannya.
Total populasi kelas menengah di Indonesia saat ini mencapai 69% dari total
penduduk Indonesia, pertumbuhan pengeluaran golongan menengah naik mencapai 17%
dari tahun lalu, sedangkan kelas bawah hanya naik 5% dan kelas atas naik
7%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumerisme penduduk Indonesia
semakin meningkat dan didominasi oleh golongan menengah. Sebagai
contoh adalah pemakain Smart Phone Blackberry di Indonesia yang mencapai 4,5
juta orang, padahal di Malaysia
sendiri sebagai negara produsen Blackberry hanya 450.000 unit saja. Ini
adalah dampak dari sifat konsumerisme yang sangat tinggi, mempunyai paham bahwa
pemakaian barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagian. Gaya
hidup tidak hemat, tercermin dari golongan menengah keatas yang mempunyai
kecenderungan kenaikan pendapatan dan ingin membedakan gaya
hidup mereka sebelumnya ke gaya
hidup baru agar di pandang benar-benar meningkat status sosialnya.
- Semakin merosotnya perekonomian di sektor menengah kebawah (sektor riil).
Krisis ekonomi global yang terjadi di dunia barat
mambuat pelaku bisnis negara barat harus menemukan pasar yang lebih potensial
agar produknya tetap laku dan roda perekonomian pribadinya tetap
berjalan. Negara barat, khususnya Amerika, tertarik kepada pasar Asia
Tenggara yang masih mempunyai pertumbuhan ekonomi yang positif. Indonesia,
sebagai negara dengan rumah tangga yang besar dengan penduduk lebih dari 200
juta jiwa lebih sangat menggiurkan untuk dijadikan pasar. Hal ini
berakibat banyaknya penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia. Secara umum perekonomian
makro Indonesia seperti
mendapat angin segar dengan banyaknya modal yang bisa dikembangkan supaya Indonesia
lebih produktif, tetap hal itu terjadi jika pemerintahan mengambil
kebijakan-kebijakan yang tepat. Dilihat dari perekonomian mikro atau sektor
riilnya, yang kebanyakan pelakunya adalah golongan masyarakat menengah kebawah,
belum tentu ini menjdai hal yang positif. Sampai saat ini, terdapat 2 macam pasar yang terdapat di Indonesia, yaitu
pasar modern dan pasar tradisional. Pasar modern adalah pasar yang
dikelola secara modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan besar dan
sasarannya adalah golongan menengah keatas. Contoh pasar modern di
Indonesia adalah super market, mall, swalayan, departement store, waralaba,
toserba, dll. Barang-barang
yang dijual di pasar modern adalah barang-barang lokal dan impor yang mempunyai
kualitas lebih terjamin dibanding di pasar tradisional. Persediaan barang
sangat terukur disimpan dalam gudang, harga barang diberi label dengan harga
pasti. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat Indonesia khususnya
golongan menengah keatas, tentunya hal ini tidak terlalu sulit untuk menjadi
konsumen pasar modern. Berbeda dengan pasar modern, pengelolaan pasar
tradisional ditangani oleh kelembagaan pasar yang ditangani oleh Dinas Pasar
sebagai salah satu dari bentuk birokrasi. Pengelolaan dalam pasar
tradisional cenderung dilakukan oleh masing-masing pedagang yang mengakibatkan
desentralisasi pengelolaan pasar. Berbeda dengan pasar modern yang
menggunakan pendekatan bisnis dalam pengelolaannya yang dilaksanakan oleh
profesional. Franchise termasuk ke dalam kategori pasar modern. Hal
ini terlihat dari karakteristiknya yang sesuai dengan syarat-syarat pasar
modern. Sehingga, franchise dalam jangka pendek atau panjang akan
mengancam eksistensi pasar tradisional yang notabene pelakunya adalah golongan
menengah kebawah. Pelaku pasar tradisional semakin tergusur dan
termarjinalkan oleh keadaan fenomena franchise asing yang semakin berkembang di
Indonesia
belakangan ini.
- Tumpulnya kreatifitas dan keberanian untuk mencoba usaha baru.
Dengan munculnya berbagai merk franchise yang
sudah mempunyai nama di luar negeri, dan notabene mempunyai tampilan yang
menarik, pelayanan juga dikemas sedemikian rupa sehingga pelanggan merasa
sangat nyaman menjajakan uangnya kepada produk tersebut, banyak pelaku bisnins
di Indonesia yang lebih tertarik untuk menjadi mitra bisnis dari franchise
asing yang sudah berdiri mapan. Terlebih lagi di dukung banyaknya pameran
franchise yang banyak di gelar di Indonesia belakangan ini, salah satunya
adalah pameran waralaba yang diadakan di Jakarta
November lalu di Gedung Balai Sidang JCC. Sekitar 150 outlet waralaba
asing memamerkan produk dan paket kemitraannya pada acara tersebut, dan
outlet-outlet tersebut didominasi oleh waralaba food and baverage asing.
Berbagai penawaran kemitraan dari masing-masing franchisor bersaing untuk
mendapatkan mitra kerja di Indonesia.
Sebenarnya bukan mitra kerja yang sesungguhnya ia dapatkan, tetapi pasar
baru. Hal itu adalah tujuan implisit dari sebuah ekspansi waralaba asing
yang masuk ke negara lain.
- Pudarnya rasa nasionalisme.
Golongan muda di Indonesia saat ini cenderung
konsumtif, sebagai konsekuensi globalisasi atas masuknya berbagai macam produk
impor. Bahkan gaya
hidup dan pola pikir ala barat yang menarik untuk ditiru membuat mereka tidak
pikir panjang untuk masuk ke dalamnya. Mereka berpikir bahwa tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari negeri
ini. Pemikiran yang seperti ini sangat menguntungkan bagi pelaku bisnis
asing, inilah sebabnya mereka tertarik untuk mengekspansi pasarnya ke
Indonesia. Tanpa sadar, masyarakat Indonesia hanya dijadikan sebagai
lahan peraup keuntungan baru oleh bangsa asing dengan kedok globalisasi. Ini
juga merupakan konsekuensi dari demokrasi yang cenderung bebas sesuai dengan
suara terbanyak. Pemerintah Indonesia menyatakan tidak anti
terhadap produk-produk luar negeri yang masuk, tetapi hal itu justru dapat
menjadi bumerang ketika masyarakat Indonesia terlanjur terlena dimanjakan
produk-produk asing dan menjadi masyarakat yang konsumtif, tidak produktif.
nice
BalasHapuswww.titianmc.co.id
infoahlik3.wordpress.com