Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

Barang produksi home industri china mengalahkan indonesia

Barang produksi home industri china mengalahkan indonesia

    Barang produksi home industri negeri China mampu menembus pasar Indonesia, ini adalah peluang yang sangat empuk bagi ekonomi mereka, Devisa RRC meningkat tajam dan berbanding terbalik dengan negara kita. Bagaimana tidak, kalau dulu di jaman pak Harto kita kebanjiran produk Jepang, semua alat rumah tangga sampai bolpen pun made in japan. Kini semua peralatan yang murah – murah made in China. Handphone china, tv china komputer china dll.

    Pemerintah dianggap kebakaran jenggot akibat membanjirnya produk-produk China di pasar dalam negeri. Langkah pengamanan pasar bagi industri lokal seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) oleh Kementerian Perdagangan hanya sebatas mau menunjukan kinerja saja. sudah sejak lama pelaku usaha di dalam negeri menghendaki revisi perdagangan bebas ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Namun sayangnya pemerintah tak menghiraukan suara pelaku industri lokal. “Kita bukan menolak ACFTA tapi kita minta direvisi saja,” Langkah pemerintah mengajak investor China untuk berinvestasi ke dalam negeri suatu hal yang sangat sulit. Menurutnya, China sebagai negara industri tahu benar apa yang menjadi kepentingannya.
    Lalu bagaimana kita bisa bersaing di pasar global, apakah kita bisa meniru apa yang telah dilakukan oleh Negara China dalam meningkatkan pemberdayaan UKM usaha home industri guna meningkatkan kemakmuran rakyatnya? Bayangkan saja semua kebutuhan kita ada dibuat oleh mereka, padahal kita pun bisa melakukannya jika ada yang menyuarakan untuk membuatnya, Ada yang memberikan pengaturan untuk membuat semua jenis produk dengan home industri dan bisa dipakai sendiri maupun di ekspor, Ya Seperti yang dilakukan bangsa China tersebut.
    Sebenarnya banyak yang bisa dibenahi kalau kita mau ada perubahan. Saat ini devisa kita sebagiannya dari pebisnis internet yang mendapatkan jutaan dolar dari luar negeri dan para TKI.

Dampak Mobilisasi Franchise Asing ke Indonesia

   Kata franchise berasal dari bahas Prancis kuno yang berarti “bebas”.  Konsep ini kemudian berkembang di Jerman sejak tahun 1840 dengan penjualan pada sektor makanan dan minuman saja.  Namun pada tahun 1951, perusahaan mesin jahit Singer di Amerika membuat perjanjian tertulis yang kemudian disebut-sebut sebagai pelopor perjanjian Franchise modern, tujuannya masih sederhana, yaitu pemberian hak untuk mendistribusikan produk.  Cara ini kemudian banyak ditiru oleh pelaku bisnis di Amerika, diantaranya adalah Coca cola, General Motors Industry.  Kemudian pada tahun 1919 A&W Root Beer membuka restoran cepat saji pertamanya, kecenderungan iklim waralaba yang didominasi oleh waralaba food and beverages mulai berkembang sampai saat ini hingga masuk ke Indonesia.
   Dalam fenomena franchise yang berkembang di Indonesia belakangan ini, saya mengambil contoh kasus fenomena franchise asing di sektor food and beverages.  Semakin menjalar di kota-kota besar berbagai seperti Wendy’s, Bread Talk, Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Dunkin Donuts, Pizza Hut, Starbucks yang mempunyai animo pembeli cukup banyak dari masyarakat Indonesia yang rela mengalokasikan uang dan waktunya dalam antrian yang panjang dan kemudian membayar.
    Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspansi Franchisor asing ke Indonesia selain dari penyebab utama yaitu krisis ekonomi global yang melanda dunia barat antara lain adalah naiknya daya beli masyarakat Indonesia, tercapainya kepuasan pribadi (prestise) oleh pembelinya, tersedianya sumber daya yang dibutuhkan, dan lunturnya rasa nasionalisme.  Mobilisasi franchisor asing untuk mengekspansi pasar Indonesia ini mendapat tanggapan dari berbagai perkumpulan franchise lokal di Indonesia dan pemerintahan, salah satunya adalah tanggapan dari ketua umum Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) yang menyinggung tentang pengawasan franchise asing untuk lebih diperketat, karena hal itu cukup mengkhawatirkan bagi iklim perekonomian Indonesia yang pertumbuhan ekonominya masih positif.  Sementara itu Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementrian perdagangan, Gunaryo, menyatakan bahwa dia tidak menolak adanya perusahaan franchise asing yang masuk ke Indonesia walaupun persyaratan masuknya franchise asing sudah ada di Indonesia nanum masih terlalu mudah.  Beliau hanya memfokuskan pada kesetaraan aturan waralaba di Indonesia sama dengan aturan-aturan yang ada di negara lain.
Dampak Masuknya Waralaba Asing
Berikut adalah dampak-dampak yang terjadi akibat masuknya franchise asing ke Indonesia dalam jumlah yang sangat besar seperti belakangan ini :
  • Tingkat konsumerisme masyarakat Indonesia semakin tinggi.
Beberapa waktu yang lalu lembaga riset Nielsen yang berbasis di Amerika Serikat dan Belanda mengeluarkan hasil riset yang menyebutkan bahwa golongan masyarakat kelas menengah di Indonesia merupakan golongan yang pertumbuhan pengeluarannya melebihi kelas atas dan bawah per bulannya.  Total populasi kelas menengah di Indonesia saat ini mencapai 69% dari total penduduk Indonesia, pertumbuhan pengeluaran golongan menengah naik mencapai 17% dari tahun lalu, sedangkan kelas bawah hanya naik 5% dan kelas atas naik 7%.  Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumerisme penduduk Indonesia semakin meningkat dan didominasi oleh golongan menengah.   Sebagai contoh adalah pemakain Smart Phone Blackberry di Indonesia yang mencapai 4,5 juta orang, padahal di Malaysia sendiri sebagai negara produsen Blackberry hanya 450.000 unit saja.  Ini adalah dampak dari sifat konsumerisme yang sangat tinggi, mempunyai paham bahwa pemakaian barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagian.  Gaya hidup tidak hemat, tercermin dari golongan menengah keatas yang mempunyai kecenderungan kenaikan pendapatan dan ingin membedakan gaya hidup mereka sebelumnya ke gaya hidup baru agar di pandang benar-benar meningkat status sosialnya.
  • Semakin merosotnya perekonomian di sektor menengah kebawah (sektor riil).
Krisis ekonomi global yang terjadi di dunia barat mambuat pelaku bisnis negara barat harus menemukan pasar yang lebih potensial agar produknya tetap laku dan roda perekonomian pribadinya tetap berjalan.  Negara barat, khususnya Amerika, tertarik kepada pasar Asia Tenggara yang masih mempunyai pertumbuhan ekonomi yang positif.  Indonesia, sebagai negara dengan rumah tangga yang besar dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa lebih sangat menggiurkan untuk dijadikan pasar.  Hal ini berakibat banyaknya penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia.  Secara umum perekonomian makro Indonesia seperti mendapat angin segar dengan banyaknya modal yang bisa dikembangkan supaya Indonesia lebih produktif, tetap hal itu terjadi jika pemerintahan mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat.  Dilihat dari perekonomian mikro atau sektor riilnya, yang kebanyakan pelakunya adalah golongan masyarakat menengah kebawah, belum tentu ini menjdai hal yang positif.  Sampai saat ini, terdapat 2 macam pasar yang terdapat di Indonesia, yaitu pasar modern dan pasar tradisional.  Pasar modern adalah pasar yang dikelola secara modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan besar dan sasarannya adalah golongan menengah keatas.  Contoh pasar modern di Indonesia adalah super market, mall, swalayan, departement store, waralaba, toserba, dll.  Barang-barang yang dijual di pasar modern adalah barang-barang lokal dan impor yang mempunyai kualitas lebih terjamin dibanding di pasar tradisional.  Persediaan barang sangat terukur disimpan dalam gudang, harga barang diberi label dengan harga pasti.  Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat Indonesia khususnya golongan menengah keatas, tentunya hal ini tidak terlalu sulit untuk menjadi konsumen pasar modern.  Berbeda dengan pasar modern, pengelolaan pasar tradisional ditangani oleh kelembagaan pasar yang ditangani oleh Dinas Pasar sebagai salah satu dari bentuk birokrasi.  Pengelolaan dalam pasar tradisional cenderung dilakukan oleh masing-masing pedagang yang mengakibatkan desentralisasi pengelolaan pasar.  Berbeda dengan pasar modern yang menggunakan pendekatan bisnis dalam pengelolaannya yang dilaksanakan oleh profesional.  Franchise termasuk ke dalam kategori pasar modern.  Hal ini terlihat dari karakteristiknya yang sesuai dengan syarat-syarat pasar modern.  Sehingga, franchise dalam jangka pendek atau panjang akan mengancam eksistensi pasar tradisional yang notabene pelakunya adalah golongan menengah kebawah.  Pelaku pasar tradisional semakin tergusur dan termarjinalkan oleh keadaan fenomena franchise asing yang semakin berkembang di Indonesia belakangan ini.
  • Tumpulnya kreatifitas dan keberanian untuk mencoba usaha baru.
Dengan munculnya berbagai merk franchise yang sudah mempunyai nama di luar negeri, dan notabene mempunyai tampilan yang menarik, pelayanan juga dikemas sedemikian rupa sehingga pelanggan merasa sangat nyaman menjajakan uangnya kepada produk tersebut, banyak pelaku bisnins di Indonesia yang lebih tertarik untuk menjadi mitra bisnis dari franchise asing yang sudah berdiri mapan.  Terlebih lagi di dukung banyaknya pameran franchise yang banyak di gelar di Indonesia belakangan ini, salah satunya adalah pameran waralaba yang diadakan di Jakarta November lalu di Gedung Balai Sidang JCC.  Sekitar 150 outlet waralaba asing memamerkan produk dan paket kemitraannya pada acara tersebut, dan outlet-outlet tersebut didominasi oleh waralaba food and baverage asing.  Berbagai penawaran kemitraan dari masing-masing franchisor bersaing untuk mendapatkan mitra kerja di Indonesia.  Sebenarnya bukan mitra kerja yang sesungguhnya ia dapatkan, tetapi pasar baru.  Hal itu adalah tujuan implisit dari sebuah ekspansi waralaba asing yang masuk ke negara lain.
  • Pudarnya rasa nasionalisme.
Golongan muda di Indonesia saat ini cenderung konsumtif, sebagai konsekuensi globalisasi atas masuknya berbagai macam produk impor.  Bahkan gaya hidup dan pola pikir ala barat yang menarik untuk ditiru membuat mereka tidak pikir panjang untuk masuk ke dalamnya.  Mereka berpikir bahwa tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari negeri ini.  Pemikiran yang seperti ini sangat menguntungkan bagi pelaku bisnis asing, inilah sebabnya mereka tertarik untuk mengekspansi pasarnya ke Indonesia.  Tanpa sadar, masyarakat Indonesia hanya dijadikan sebagai lahan peraup keuntungan baru oleh bangsa asing dengan kedok globalisasi.  Ini juga merupakan konsekuensi dari demokrasi yang cenderung bebas sesuai dengan suara terbanyak.   Pemerintah Indonesia menyatakan tidak anti terhadap produk-produk luar negeri yang masuk, tetapi hal itu justru dapat menjadi bumerang ketika masyarakat Indonesia terlanjur terlena dimanjakan produk-produk asing dan menjadi masyarakat yang konsumtif, tidak produktif.













1 komentar: